spot_img
BerandaOPINISelamat Datang Pemilu Federal: Adu Mekanik Skema Pemilu 

Selamat Datang Pemilu Federal: Adu Mekanik Skema Pemilu 

Author

Date

Category

Selamat datang di sistem Pemilu  federal. Ini mungkin kritik pertama yang cocok ditujukan terhadap Putusan MK Nomor: 135/PUU-XXII/2024, berkaitan dengan pemisahan Pemilu Nasional (Pilpres, Pileg DPR RI dan DPD RI). Terpisah dengan Pemilu Lokal (Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur, Pilkada Bupati/Wakil Bupati, Pilkada Walikota/Wakil Walikota), Pileg DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota). 

Sebagaimana diketahui MK dalam Putusan Nomor: 135/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa mulai 2029, keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum.

Pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu nasional) terpisah dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota (Pemilu daerah atau lokal). Sehingga, Pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 (lima) kotak” tidak lagi berlaku.

Dalam pertimbangannya MK beralasan bahwa penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Melalui putusan ini, MK kembali merubah skema pemilu lima kotak yang selama ini digunakan dalam Pemilu Serentak. Dalam putusan terbarunya, MK menetapkan bahwa mulai tahun 2029, pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah atau lokal harus dipisahkan melalui pengujian UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Pilkada.

Putusan ini diambil demi menjaga kualitas pemilu, meningkatkan efisiensi penyelenggaraan, serta memberi ruang yang lebih baik bagi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya secara cermat dan tidak terburu-buru.

Tidak itu saja MK juga menyatakan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, “Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden.

Dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD, atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden.

Diselenggarakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.

Skema dan desain yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, menurut pandangan saya tidak sesuai dengan semangat Negara Kesatuan yang sudah dimandatkan dalam konstitusi, dimana tidak mengenal negara bagian sebagaimana praktek dalam sistem  federasi.

Bahkan, untuk menegaskan kesatuan itu, maka dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, ditegaskan bahwa Kepala Daerah dan DPRD adalah bagian dari eksekutif yang menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagai perpanjangan Pemerintah pusat di daerah.

Secara tegas dikatakan bahwa Gubernur adalah kepala daerah dan unsur pelaksana pemerintahan daerah, sedangkan DPRD Provinsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi.

Oleh sebab itu dalam sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia, DPRD tidak termasuk sebagai lembaga legislatif. Karena DPRD adalah salah satu unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah bersama Kepala Daerah.

Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, menurut pandangan saya semakin menegasikan dan meneguhkan federasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Padahal semangat sistem ketatanegaraan yang akan dibangun adalah bagaimana memperkuat sistem presidensial dan negara kesatuan.

Oleh sebab itu akan memberikan implikasi politis yang semakin tajam soal hubungan pusat dan daerah, yang memang selama ini sering “bersitegang”  soal otoritas dan kewenangan.

Soal sengketa 4 Pulau antara Aceh dan Sumut merupakan contoh nyata, buruknya manajemen pengelolaan penyelenggaraan sistem pemerintahan pusat dan daerah, serta daerah dengan daerah.

Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, yang akan berimplikasi pada. pengaturan soal teknis penyelenggaran Pemilu, mulai dari aspek regulasi, penganggaran, dan  desain Pemilu itu sendiri.

Termasuk, soal kelembagaan penyelengara Pemilu seperti Bawaslu dan KPU, peradilan Pemilu. Apakah nanti MK masih berwenang menangani perkara sengketa perselisihan suara Pemilu dengan perbedaan rezim Pemilu ini.

Masih banyak implikasi turunan yang akan muncul dengan skema Pemilu baru hasil produk putusan MK ini. Harapan kita perubahan skema Pemilu ini tidak melahirkan kerumitan baru dalam sistem elektoral Indonesia. ***

Oleh : Elfahmi Lubis*

Google News

iklan

IKLAN

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Linda Barbara

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum imperdiet massa at dignissim gravida. Vivamus vestibulum odio eget eros accumsan, ut dignissim sapien gravida. Vivamus eu sem vitae dui.

Recent posts