spot_img
BerandaOPINIKetimpangan Kesejahteraan Guru ASN dan Honorer

Ketimpangan Kesejahteraan Guru ASN dan Honorer

Author

Date

Category

Ketimpangan kesejahteraan antara guru Aparatur Sipil Negara (ASN) dan guru honorer merupakan salah satu paradoks terbesar dalam sistem pendidikan Indonesia.

Di satu sisi, guru ASN menikmati berbagai fasilitas finansial seperti gaji pokok yang tinggi, tunjangan kinerja, tunjangan sertifikasi, hingga berbagai insentif daerah.

Di sisi lain, guru kehormatan—yang sering kali memikul beban kerja yang sama, bahkan lebih—justru diganjar dengan imbalan yang nyaris simbolis.

Realitas ini bukan hanya persoalan administratif, tetapi juga mencakup keadilan sosial dan moral negara terhadap para pendidik bangsa.

Secara struktural, guru ASN memang memiliki status yang sah di mata negara. Namun argumentasi bahwa status formal layak menjadi dasar perbedaan kesejahteraan yang begitu mencolok patut dipertanyakan.

Gaji guru ASN rata-rata telah melampaui kebutuhan dasar hidup, bahkan di beberapa daerah sudah berada di atas pendapatan masyarakat umum.

Lalu, mengapa masih ada penambahan berbagai jenis tunjangan, seolah-olah penghasilan mereka belum memadai?

Sementara itu, guru honorer bekerja dengan penuh dedikasi di berbagai pelosok negeri. Mereka mengajar tanpa jaminan kesejahteraan yang layak, tanpa kejelasan karier, dan tanpa perlindungan sosial yang memadai.

Ironisnya, kontribusi mereka dalam mendidik anak bangsa tidak kalah penting dibandingkan Guru ASN.

Bahkan di beberapa daerah terpencil, eksistensi Guru Honorer menjadi satu-satunya tiang penopang keberlangsungan pendidikan dasar.

Ketimpangan ini tidak hanya menggerus semangat para guru kehormatan, tetapi juga menciptakan polarisasi dalam tubuh profesi guru itu sendiri.

Sistem yang timpang telah mengerdilkan semangat kolektif dan gotong royong dalam dunia pendidikan.

Padahal, pendidikan yang menuntut kerja kolaboratif dan keadilan bagi semua pelakunya.

Negara seharusnya hadir untuk merespons kenyataan ini secara adil dan visioner.

Kebijakan afirmatif terhadap guru honorer bukan sekadar urusan teknis, melainkan bentuk tanggung jawab moral terhadap profesi yang telah lama menjadi tulang punggung pembangunan manusia Indonesia.

Pemerintah harus berhenti memelihara sistem yang elitis dan eksklusif dalam distribusi kesejahteraan.

Jika gaji guru ASN sudah mencukupi, maka pemberian tunjangan berlapis patut dievaluasi. Dana publik seharusnya dikelola secara proporsional dan adil.

Sebagian dari sumber daya tersebut perlu dialihkan untuk memperbaiki nasib guru honorer yang hingga kini masih berada dalam bayang-bayang eksploitasi sistemik.

Keadilan sosial dalam dunia pendidikan bukan hanya soal angka di slip gaji, melainkan pengakuan atas kerja-kerja diam-diam dan pengabdian tulus yang tidak selalu tercatat dalam laporan birokrasi.

Guru honorer bukan pekerja kelas dua; mereka adalah pendidik sejati yang layak dihormati, dihormati, dan disejahterakan.

Sudah saatnya negara menegaskan keberpihakannya. Bukan hanya pada status administratif, tetapi pada pengabdian nyata.

Sebab keadilan tidak boleh dimonopoli oleh mereka yang berada dalam lingkaran formalitas, sementara yang berada di garis depan pendidikan justru terus diabaikan.

penting
Muhammad Ali Sabri

Penulis : Muhammad Ali Sabri Serami Baru

Google News

iklan

IKLAN

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Linda Barbara

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum imperdiet massa at dignissim gravida. Vivamus vestibulum odio eget eros accumsan, ut dignissim sapien gravida. Vivamus eu sem vitae dui.

Recent posts