Limapuluh Kota I SuraIndonesia1.id – Suara gergaji mesin dan deru truk kayu kini menjadi latar keseharian di perbukitan kawasan hutan Ulayat Nagari Tanjung Balik , Limapuluh Kota. Di balik aktivitas itu, tersimpan bahaya besar yang bisa menimpa ribuan jiwa.
Sekelompok orang, yang disebut-sebut berinisial JD, H, Hi, dan R, diduga membuka jalan baru tanpa izin untuk memudahkan penebangan kayu di hutan ulayat nagari setempat sejak 4 bulan lalu. Jalan yang awalnya hanya berupa setapak kecil, kini sudah berubah menjadi jalur lebar yang cukup dilalui truk pengankut kayu . Jalan tanah di lereng curam itu dibuka begitu saja—tanpa kajian teknis, tanpa perhitungan geologi, dan tanpa sistem drainase yang layak.

Kondisi tersebut membuat lapisan tanah rapuh terbuka, sementara akar-akar pohon besar yang dulu menjadi penopang alami sudah tak ada lagi. Lereng kehilangan daya cengkram, dan air hujan yang turun berhari-hari bisa menjadi pemicu longsor besar.
Bayangkan jika badan jalan utama hingga jalur vital Lintas Sumatera tertimbun lumpur dan kayu sisa tebangan—akses transportasi lumpuh, ekonomi terhenti, dan ribuan warga terisolasi. Ungkap sejumlah warga Tanjung Balik, selasa (9-9-2025 )
Tak berhenti di situ, kerusakan ekosistem pun tak terelakkan. Habitat air rusak, bahkan ancaman banjir bandang kian nyata. Semua ini berawal dari praktik pembalakan liar yang dibiarkan aparat berwenang begitu saja.
Ironisnya, laporan masyarakat tentang aktivitas ilegal logging ini disebut-sebut sudah berulang kali sampai ke telinga aparat. Bahkan Lembaga Adat seperti KAN sudah melaporkan secara tertulis ke Polres Limapuluh-Kota. Surat laporan lembaga niniak Mamak No. 06/KAN/TB/VII/2025 tertanggal 31 Juli 2025 sepertinya hanya menjadi menghuni laci Polres limapubluh-kota.

Polres setempat bahkan telah lakukan BAP terhadap sejumlah Pengulu Suku. Namun, hingga kini tak ada tindakan tegas terhadap penjarah kayu hutan itu. .
Polisi yang seharusnya menjadi pelindung hukum, serta Dinas Kehutanan yang berkewajiban menjaga kelestarian hutan, justru dinilai masyarakat terkesan tutup mata. Niniak mamak yang melapor diminta diam dan bersabar. Namun pihak penjarah hutan Ulayat nagari Tanjung Balik dibiarkan terus membabat pepohonan.
Inilah saatnya aparat kepolisian dan dinas terkait mengambil langkah nyata sebelum bencana benar-benar datang. Jangan tunggu sampai jalan lintas terputus, rumah warga tertimbun, atau nyawa melayang baru bergerak. Hutan bukan sekadar deretan pepohonan, melainkan benteng terakhir yang melindungi masyarakat dari bencana alam.
Masyarakat berharap aparat bertindak cepat: hentikan penjarahan hutan, amankan kawasan rawan, dan tegakkan hukum tanpa pandang bulu. Sebab, ketika hutan hilang, bukan hanya tanah yang longsor—kepercayaan publik pada penegak hukum pun bisa ikut runtuh. ( B.Slomak – Arul )