Catatan : Edwar Bendang
Jelang Musyawarah Olahraga Daerah (Musorda) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Lima Puluh Kota, yang akan digelar pada tanggal 25 September 2025, perang dukungan terhadap dua figur calon Ketua Umum KONI Kabupaten Limapuluh Kota yang akan bertarung pada Musyawarah Olahraga ( Musroda ) Kabupaten Limapuluh Kota, terlihat semakin menarik perhatian publik. Sepertinya pencalonan Pejabat Publik dijegal Keputusan Mahkamah Konstitusi ?.
Sementara, persaingan menuju kursi Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Limapuluh Kota, banyak menarik perhatian publik. Setelah melewati proses pendaftaran yang ketat, hanya dua kandidat yang dinyatakan lolos dan akan bersaing untuk memimpin KONI periode 2025- 2030 mendatang.
Kedua kandidat tersebut adalah Budi Febriandi, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Umum KONI Limapuluh Kota, dan Taufik Hidayatullah Ihsan, pengurus KONI yang juga menjabat sebagai Sekretaris Umum Askab PSSI, juga tercatat sebagai Anggota DPRD Limapuluh Kota.
Setidaknya hal itu penting disikapi kembali prinsip-prinsip tata kelola organisasi olahraga yang bebas dari konflik kepentingan.
Salah satu ketentuan krusial yang harus diperhatikan adalah larangan bagi pejabat publik untuk menjabat sebagai pengurus KONI, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
Meskipun undang-undang ini telah digantikan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, prinsip kemandirian pengurus KONI tetap dipertahankan dan ditegaskan melalui norma transisi dalam Pasal 106, yang menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan dari UU sebelumnya tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan baru.
Ketentuan tersebut telah diuji keabsahannya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara uji materi yang diajukan oleh Ketua KONI Surabaya Saleh Ismail Mukadar dan Gubernur Sumatera Selatan Ir. Syahrial Oesman, yang saat itu juga menjabat sebagai Ketua KONI Provinsi Sumatera Selatan.
MK dalam putusannya menolak seluruh permohonan uji materi terhadap Pasal 40 UU Nomor 3 Tahun 2005, menegaskan bahwa larangan tersebut bertujuan menghindari konflik kepentingan dan menjamin netralitas serta profesionalisme dalam pengelolaan organisasi olahraga.
Sementara, perang dukungan terhadap dua figur calon Ketua Umum KONI Kabupaten Limapuluh Kota yang akan bertarung pada Musyawarah Olahraga Kabupaten Limapuluh Kota (Musorkab) yang akan digelar pada tanggal 25 September 2025 semakin hangat di kalangan insan olahraga di daerah ini.
Buktinya, ketika tersiar kabar secara luas di sejumlah media massa maupun di media sosial yang mengungkapkan Budi Febriandi mendapat dukungan dari Bupati Kabupaten Limapuluh Kota periode 2016-2021 Ir. Irfendi Arbi, MP, membuat kubu kompetitor Taufik Hidayaltullah Ihsan, tokoh muda yang digadang-gadang bakal mampu membawa KONI Kabupaten Limapuluh Kota bangkit dari tidur dan mimpi buruknya, karena rendahnya dukungan anggaran dari Pemerintah Daerah Kabupaten Limapuluh Kota ternyata mendapat restu dan dukungan dari Ketua DPRD Kabupaten Limapuluh Kota, Doni Ikhlas.
Padahal, salah satu ketentuan krusial yang harus diperhatikan adalah larangan bagi pejabat publik untuk menjabat sebagai pengurus KONI, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
Meskipun undang-undang ini telah digantikan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, prinsip kemandirian pengurus KONI tetap dipertahankan dan ditegaskan melalui norma transisi dalam Pasal 106, yang menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan dari UU sebelumnya tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan baru.
Ketentuan tersebut telah diuji keabsahannya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara uji materi yang diajukan oleh Ketua KONI Surabaya Saleh Ismail Mukadar dan Gubernur Sumatera Selatan Ir. Syahrial Oesman, yang saat itu juga menjabat sebagai Ketua KONI Provinsi Sumatera Selatan. MK dalam putusannya menolak seluruh permohonan uji materi terhadap Pasal 40 UU Nomor 3 Tahun 2005, menegaskan bahwa larangan tersebut bertujuan menghindari konflik kepentingan dan menjamin netralitas serta profesionalisme dalam pengelolaan organisasi olahraga.
Dalam sidang tersebut, Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu, Adhyaksa Dault, serta anggota DPR RI H.M. Akil Mochtar menyampaikan bahwa pejabat publik tidak akan mampu memberikan fokus dan dedikasi penuh dalam mengurus keolahragaan, serta bahwa potensi penyalahgunaan anggaran akan sangat besar bila pejabat publik juga menjadi penerima manfaat anggaran dari APBD atau APBN yang ia kelola sendiri.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi landasan hukum penting yang tidak dapat diabaikan, khususnya dalam dinamika menjelang Musorda KONI Kabupaten Lima Puluh Kota.
Prinsip kemandirian dan larangan rangkap jabatan juga sejalan dengan nilai-nilai yang tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KONI, yang menekankan pentingnya profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas dalam struktur kepengurusan.Tiket atraksi wisataTiket atraksi wisata
Oleh karena itu, seleksi calon pengurus KONI pada Musorda 2025 tentunya kita harus benar-benar mempertimbangkan aspek legalitas dan etika ini, agar kepengurusan yang terbentuk nantinya benar-benar bebas dari intervensi politik dan mampu berfokus sepenuhnya pada pembinaan olahraga daerah.
Dengan memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi dan prinsip tata kelola organisasi yang baik, Musorda KONI Kabupaten Lima Puluh Kota, 25 September 2025 diharapkan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin olahraga yang independen dan berkomitmen mendorong kemajuan prestasi olahraga di Lima Puluh Kota.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya kolektif membangun sistem keolahragaan nasional yang berintegritas dan terbebas dari konflik kepentingan.Semoga !!!