“Pemilu itu adalah instrumen demokrasi dalam bentuk kontestasi politik, jika anda merasa dirugikan dalam kontestasi itu gunakan ruang hukum sebagai rule the game, agar demokrasi tidak menjadi bar-bar tapi sebaliknya bermartabat dan berintegritas”
Ingat Pemilu itu bukan arisan alias julo-julo yang aturan mainnya cukup dengan kesepakatan anggota saja lalu dikocok. Tapi Pemilu itu secara administratif diselenggarakan harus berdasarkan tata cara, prosedur, dan mekanisme yang benar, berkepastian dan sesuai ketentuan UU, PKPU, Peraturan Bawaslu, dan ketentuan terkait lainnya.
“Sepanjang peserta Pemilu mampu membuktikan data dan fakta, maka proses perubahan suara dalam setiap pleno rekapitulasi suara berjenjang sangat mungkin terjadi. Tapi sebaliknya, jika yang diajukan hanya asumsi, provokasi, tudingan curang dan narasi tanpa fakta, maka secara hukum tidak memiliki nilai pembuktian dan tidak akan mampu merubah hasil pleno rekapitulasi berjenjang.tersebut.”
Hasil penetapan hasil Pemilu secara berjenjang telah selesai dilakukan sampai ke tingkat nasional, baik untuk Pemilu presiden maupun pemilu legislatif (termasuk DPD red). Hasil perolehan suara Pilpres dan Pileg sudah menjadi angka-angka final, dan pemenang Pilpres susah ditetapkan oleh KPU, termasuk Pileg dengan hasil 8 parpol dinyatakan lolos
Parliamentary threshold atau ambang batas parlemen 4 persen berikut jumlah perolahan suara masing-masing parpol.
Tinggal saat ini KPU menuntaskan tahapan berikutnya adalah pelantikan presiden/wapres dan pembagian alokasi kursi caleg yang berhak duduk di parlemen pada semua tingkatan, pasca putusan MK jika ada yang mengajukan sengketa perselisihan hasil suara Pemilu (PHPU) di.MK.
Pada pemilu presiden setidaknya sudah ada peserta yang secara administrasi mempersiapkan syarat-syarat formil untuk mengajukan permohonan sengketa PHPU, begitu juga Parpol, misalnya PPP terkait soal ambang batas parlemen.
Dan saya pastikan akan masih banyak lagi sengketa PHPU dari berbagai daerah akan melakukan hal yang sama. Di Bengkulu saja misalnya, tidak menutup kemungkinan ada peserta pemilu akan mengajukan permohonan sengketa PHPU ke MK, jika ada yang merasa dirugikan dan dalam upaya memperjuangkan keadilan.
Dalam tulisan ini saya ini akan mengulas soal problematika yuridis sebagai akibat terjadinya perubahan hasil suara setelah ditetapkan dalam rapat pleno rekapitulasi suara oleh KPU (baik pleno tingkat kecamatan, kabupaten/kota,.provinsi, dan nasional).
Di mana hal ini terjadi setelah Bawaslu mengeluarkan putusan sengketa administrasi, yang salah satu rekomendasinya penghitungan suara ulang, baik terhadap suara sah maupun tidak sah. Secara hukum, ada beberapa hal yang harus dijawab secara berjenjang, sistematis dan berdasarkan fakta hukum berkaitan dengan masalah ini.
Pertama, pleno dilakukan secara berjenjang di setiap tingkatan hampir dipastikan akan terjadi perubahan data perolehan suara selama itu ada data dan fakta hukum yang mampu disajikan para pihak.
Proses ini sudah mekanisme pada proses rekapitulasi hingga penetapan nasional. Sepanjang peserta pemilu mampu membuktikan data dan fakta, maka proses perubahan suara dalam setiap pleno rekapitulasi suara berjenjang sangat mungkin terjadi.
Tapi sebaliknya, jika yang diajukan hanya asumsi, provokasi, tudingan curang dan narasi tanpa fakta, maka secara hukum tidak memiliki nilai pembuktian dan tidak akan mampu merubah hasil pleno rekapitulasi berjenjang.tersebut.
Kedua; rekomendasi administrasi Bawaslu adalah terkait mekanisme, tata cara dan prosedur yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ingat Pemilu itu bukan arisan alias julo-julo yang aturan mainnya cukup dengan kesepakatan anggota saja.
Tapi Pemilu itu secara administratif diselenggarakan harus berdasarkan tata cara, prosedur, dan mekanisme yang benar, berkepastian dan sesuai ketentuan UU, PKPU, Perbawaslu, dan ketentuan terkait lainnya. Oleh sebab itu Bawaslu diberi mandat kewenangan berdasarkan regulasi dalam menjalan fungsi pengawasan, pencegahan, dan penindakan.
Dalam kasus sengketa administrasi pasca pleno rekapitulasi suara berjenjang, seharusnya ada persoalan hukum yang harus diselesaikan melalui tingkatan dari bawah (maksudnya dari mana asal mula pertama kali masalnya terjadi), yaitu bisa mulai di tingkat pleno PPK dan kabupaten. Baru jika tidak selesai pada level itu di bawah ke jenjang lebih di tingkat Provinsi atau nasional.
Apa yang dilakukan Bawaslu yang merespon dan menindaklanjuti setiap ada pengaduan/permohonan sengketa administrasi maupun proses antar peserta Pemilu atau antar peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu adalah tindakan yang sudah benar dan merupakan bagian dari proses pengawasan yang diperintahkan UU.
Sebaliknya jika Bawaslu tidak menindaklanjuti, maka merupakan tindakan yang salah dan dapat diadukan ke DKPP sebagai pelanggaran etik. Sepanjang rekomendasi yang dikeluarkan itui berdasarkan UU dan Perbawaslu, maka secara hukum tindakan Bawaslu adalah benar.
Harus dipahami oleh peserta Pemilu dan publik bahwa pleno rekapitulasi hasil suara berjenjang mulai dari PPK, kabupaten, Provinsi, dan nasional sekalipun belum final karena itu baru bersifat rekapitulasi sehingga ruang koreksi tetap ada, dan bahkan di tingkat nasional pun undang-undang memberikan ruang bagi para pihak untuk menchallange penetapan suara melalui pengajuan sengketa PHPU ke MK.
Terpenting bila itu terkait perolehan suara, fakta hukum berdasarkan data adalah tetap yang utama, karena mekanisme dan prosedur pada dasarnya tetap mengutamakan kepentingan substansi Pemilu, artinya di setiap tingkatan selama itu ada yang tidak sesuai aturan dan demi untuk menjaga substansi Pemilu, maka dimungkinkan ada koreksi dan perubahan perolehan suara.
Jadi tetap yang diutamakan pada semua proses yang ada semata-mata untuk menjaga prinsip dan substansi dan keadilan pemilu itu sendiri. Terutama memastikan hak memilih WNI adalah bagian paling penting dalam Pemilu dan dilindungi konstitusi. Tak ada orang termasuk negara sekalipun boleh menghilangkan hak tersebut.
Terbukti dengan sengaja menghilang hak suara seseorang yang telah memenuhi syarat UU adalah pidana Pemilu. Hal ini dilakukan dalam upaya menempatkan bagian penting dari pemilu bahwa jangan sampai suara orang yang seharusnya sah secara hukum terjadi sebaliknya, kedua hak berpolitik peserta pemilu juga harus dijaga untuk keadilan, maka ketika di setiap tingkatan diberi ruang bagi semua pihak untuk mekoreksi, dan terakhir di MK yang final dan mengikat jika berkaitan dengan sengketa perselisihan hasil Pemilu.
Apakah ada upaya hukum yang bisa dilakukan oleh peserta Pemilu untuk mengkoreksi perubahan hasil itu selain mengajukan sengketa PHPU ke MK, sejauh ini regulasi Pemilu yang tersedia tidak ada selain melalui proses di MK.
Soalnya, mekanisme administrasi sudah habis sejak penetapan secara nasional, dan secara hukum sudah di ranah Mahkamah Konstitusi. Kalau masih menggunakan mekanisme administrasi, sementara obyeknya sudah masuk ranah PHPU, maka secara yuridis batal demi hukum karena kompetensi absolutnya MK.
Pemilu itu adalah instrumen demokrasi dalam bentuk kontestasi politik, jika anda merasa dirugikan dalam kontestasi itu gunakan ruang hukum sebagai rule the game, agar demokrasi tidak menjadi bar bar tapi sebaiknya bermartabat.
Bawaslu dalam menjalankan penanganan pelanggaran regulasinya adalah Perbawaslu 7/2022 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilu, serta Perbawaslu 8/2022 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu. Secara teknis Bawaslu yang dilakukan oleh selanjutnya Bawaslu melakukan pemeriksaàn dengan acara cepat dengan tujuan kepastian, efisiensi, dan kepastian hukum ***.
Oleh: Elfahmi Lubis*
(Dosen/Ketua LBH-AP.Muhammadiyah)**