JAKARTA – Suaraindonesia1, Masyarakat Pemajuan Iptek dan Inovasi (MPI) Nasional yang terdiri dari para peneliti, akademisi, ASN maupun PPNPN lembaga Iptek menyampaikan uneg-unegnya terkait kondisi ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia saat bertemu Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di Ruang Kerja Ketua DPD RI, Gedung Parlemen Senayan Jakarta,
Hadir dalam audiensi antara lain Lukman Hakim (Mantan Kepala LIPI), Amin Soebandrio (Kepala LBM Eijkman) dan para anggota MPI lainnya Djarot SW, Joko Raharjo, Makmuri, Arya Rezavidi dan Ahmad Farid W. Ketua DPD RI didampingi Senator asal Lampung Bustami Zainudin, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Togar M Nero, serta Deputi Administrasi DPD RI Lalu Niqman Zahir.
Salah satu anggota MPI, Lukman Hakim menjelaskan bahwa terjadi kemunduran iptek di Indonesia setelah beberapa lembaga penelitian dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yakni lewat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek).
“Integrasi tersebut bukan membuat kemajuan, tetapi malah kemunduran bahkan merusak ekosistem iptek dan inovasi yang telah dibangun sejak lama,” kata Lukman.
BRIN, lanjutnya merombak seluruh tatanan lembaga Iptek yang ada. Pada prosesnya keberadaan BRIN malah membuat para peneliti dihadapkan pada masa depan yang tidak pasti.
“Dalam riset saja seperti memulai dari nol setelah dilebur dalam BRIN. Padahal sudah banyak pekerjaan dari para peneliti yang sudah berjalan dan sebenarnya bisa dilanjutkan,” tukas dia.
Belum lagi adanya pemisahan antara peralatan dan perisetnya. Hal ini membuat peneliti tidak mempunyai alat, padahal alat ini adalah milik negara.
“Menurut kami ada semacam swastanisasi alat. Dimana periset atau peneliti dipisahkan dengan alat risetnya. Kalaupun mau melakukan riset sangat kesulitan karena alatnya dipegang oleh operator swasta. Sangat memprihatinkan,” ucapnya lagi.
Sedangkan Amin Soebandrio mengatakan pada tahun 2021 LBM Eijkman dihentikan operasionalnya, padahal di masa pandemi menjadi ujung tombak, mulai diagnosis dan pengembangan vaksin.
“Akibatnya vaksin merah putih yang sudah kita kembangkan terhenti. Para peneliti sangat prihatin karena tidak bisa lagi berperan untuk mendukung penelitian di Indonesia. Padahal kami punya fasilitas dan peralatan yang sebenarnya bisa kita optimalkan,” ucapnya.
Ditambahkannya bahwa membangun ekosistem Iptek diperlukan waktu lama. Harus berkelanjutan dan kontinyu, tidak bisa dalam jangka pendek.
“Ekosistem yang sudah terbentuk seharusnya jangan dirusak oleh kepentingan politik. Menurut kami kepemimpinan BRIN arogan. Banyak UU yang dilanggar seperti UU ketenaganukliran, UU keantariksaan dan lain-lain. Dan tidak ada penerimaan dari masyarakat Iptek. Keberlangsungannya bagaimana, karena membangun ekosistem Iptek itu dalam jangka panjang,” tukas dia.
“BRIN ini seperti mengejar jurnal. Mereka menghindari penciptaan produk. Padahal tugas yang diberikan Presiden adalah berburu inovasi dan hilirisasi produk. Artinya mereka sebenarnya tak sejalan dengan perintah Presiden,” imbuhnya.
Menanggapi keluhan itu Ketua DPD RI mengaku akan melakukan telaah dan mengkaji permasalahan tersebut.
“Kemungkinan. Kami juga akan mengundang BRIN untuk mengetahui dan mendengar kondisi Iptek ini dari mereka,” katanya.(*)
*BIRO PERS, MEDIA, DAN INFORMASI LANYALLA*
www.lanyallacenter.id