JAKARTA – Suaraindonesia1, Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) membahas kebijakan daerah terkait pajak daerah dan retribusi daerah pasca berlakunya UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), Rabu (23/11/2022) di Nusantara V, Komplek Parlemen.
Ketika membuka acara tersebut, Wakil Ketua DPD RI Mahyudin mengatakan bahwa Rakernas tersebut diselenggarakan untuk mencari solusi atas permasalahan terkait perumusan peraturan daerah dalam menyikapi UU HKPD terkait pajak dan retribusi daerah.
“Peran DPD RI sangat penting untuk melakukan sinkronisasi aspirasi dari masing-masing daerah sehingga dapat menjadi artikulasi yang kuat di tingkat negara dan pemerintah pusat secara tepat dan proporsional,” ucapnya.
Baca: Songsong Masa Depan, LaNyalla Ingatkan Generasi Muda Pentingnya Jiwa Nasionalisme dan Budi Pekerti
Sementara itu, ketika memberikan pengantar, Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono mengatakan, dalam pembahasan RUU HKPD, DPD RI telah memperjuangkan aspirasi daerah, terutama terkait dana transfer ke daerah. Seperti alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) yang harus berasaskan keadilan bagi daerah penghasil, kepastian dana alokasi umum (DAU) sesuai dengan kebutuhan daerah, ataupun dana insentif daerah (DID) yang harus tetap dipertahankan dalam RUU HKPD karena memacu peningkatan pelayanan publik dan pembangunan daerah.
“Aspirasi daerah sudah kami sampaikan, walaupun belum semua pandangan dan pendapat DPD RI diakomodir saat disahkan menjadi UU HKPD,” jelasnya.
Ketika membuka diskusi dalam Rakernas tersebut, Ketua BULD DPD RI Stefanus BAN Liow mengatakan bahwa saat ini pemerintah daerah sedang mengalami kegalauan. UU HKPD mengharuskan Pemda untuk membentuk peraturan daerah terkait pajak dan retribusi. Di mana dalam peraturan-peraturan daerah tersebut, setidaknya ada 30 item pajak dan retribusi daerah yang harus diatur.
“Sementara itu daerah hanya mempunyai waktu maksimal 2 tahun dan beberapa di antaranya maksimal 3 tahun untuk melakukan penyesuaian,” imbuhnya.
Atas hal itu, lanjut Stefanus, BULD menyelenggarakan Rakernas dengan tujuan untuk memberikan kepastian kepada Pemda dalam menyikapi UU HKPD terkait Perda pajak dan retribusi daerah.
“Apakah daerah menghadapi kendala dan persoalan, sejauh apa persoalan tersebut mempengaruhi kemampuan fiskal daerah, bagaimana upaya yang akan ditempuh, dan apakah ada kendala dalam melakukan penyesuaian terhadap peraturan daerah terkait pajak daerah dan retribusi daerah,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Perimbangan Keuangan Luky Alfirman mengatakan bahwa saat ini pemerintah sedang berusaha menginvetarisasi dan menganstisipasi seluruh permasalahan yang dihadapi daerah terkait penerapan UU HKPD, khususnya terkait pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).
“Sehingga pemerintah merumuskan langkah mitigasi dan solusi agar implementasi berjalan dengan baik,” ucapnya.
Luky menjelaskan, untuk memberikan pengaturan lebih lanjut, saat ini pemerintah sedang menyusun rancangan peraturan pemerintah (RPP), di antaranya terkait Ketentuan Umum PDRD atau KUPDRD. Melalui pengaturan dalam RPP tersebut, akan didorong penyempurnaan administrasi PDRD melalui beberapa kebijakan baru, seperti pendataan dan pendaftaran dengan simplifikasi NPWPD, pelaporan secara integrasi, tara cara dan sinergi pemungutan opsen, kerjasama pemanfaatan daerah dalam pemungutan pajak daerah, serta pengurangan, keringanan, pembebasan, termasuk penghapusan, dan juga sanksinya.
“Oleh karena itu, Pemda diharapkan sudah mulai pembahasan untuk penyusunan satu perda terkait PDRD sebagaimana amanat Pasal 94 UU HKPD,” jelasnya.
Sementara itu, Plh Direktur Pendapatan Daerah Ditjen Bina Keuangan Daerah Budi Ermawan menjelaskan, pengaturan PDRD paska ditetapkannya UU HKPD harus ditetapkan dalam 1 Perda. Perda tersebut harus memuat semua objek pajak dan retribusi daerah. Sebelum UU HKPD disahkan, Budi mengatakan bahwa objek pajak dan retribusi diatur dalam masing-masing Perda.
“Dengan dijadikan menjadi 1 Perda, maka Organisasi Perangkat Daerah (OPD) langsung berkoordinasi dengan Bappeda sebagai pengampu pajak dan koordinator retribusi daerah, baru dengan Bagian Hukum. Secara SOP dan tuntutan pun berbeda,” ucapnya.
Terkait penyusunan Ranperda PDRD, Kementerian Dalam Negeri meminta Pemda untuk segera menyusun naskah akademis sebagai dasar penyusunan Ranperda PDRD sesuai dengan UU HKPD. Naskah akademis ini harus sudah memprediksi semua perhitungan potensi yang diperlukan ketika pembahasan Ranperda.
“Karena pasti nanti akan dipertanyakan kenapa ini ditetapkan terkait tarifnya sekian dan seterusnya. Hal ini perlu dilakukan karena waktunya sudah makin dekat. Kami juga mendorng pengajuan Ranperda RPDR semester pertama TA 2023. Kami mohon bantuan Bapak dan Ibu di Pemda, karena kalau misalnya diajukan di akhir 2023, antriannya sudah sampai keluar gedung ini (Nusantara V),” imbuh Budi.
Masih dalam Rakernas tersebut, Anggota BULD DPD RI Made Mangku Pastika menegaskan bahwa keberadaan BULD DPD RI bertujuan untuk membantu mengurusi Perda dan Ranperda di daerah.
“Saya merasakan, karena saya pernah menjadi gubernur. Sering kali ranperda kita macet, dan tugas BULD memperlancar itu. Jangan dipikir kami mau ngrecoki daerah. Kita justru ingin membantu daerah apabila mengalami masalah dalam hal urusan Perda dan Ranperda, kami siap untuk itu,” ucap Made yang juga Anggota DPD RI dapil Bali ini.
Terkait UU HKPD, Made mengatakan bahwa undang-undang tersebut berpotensi mengurangi pendapatan daerah. Apalagi banyak elemen yang belum dapat dijadikan objek pajak, seperti kendaraan listrik. UU HKPD juga belum terlalu mengatur dana bagi hasil sumber daya alam lainnya, padahal memiliki nilai ekspor yang tinggi yang juga dapat menghasilkan nilai pajak yang tinggi bagi daerah.
“Dari judulnya ini hanya soal hubungannya. Kita sudah komplain, termasuk dana transfer ke daerah. Dilihat dari APBN, dana transfer daerah hanya 800 triliun dari 3.000 triliun. Padahal pembangunan di daerah, seharusnya dari daerah untuk Indonesia balik lagi ke daerah. Bagaimana kita juga menentukan hak perimbangan, terutama terkait transfer ke daerah. DPD RI harus berjuang supaya ini bisa lebih adil, apalagi secara teknis kita mengalami hambatan,” tegasnya.
Senada, Gubernur dari Jambi Al Haris mengatakan bahwa selama ini daerahnya belum memperoleh DBH yang sesuai dengan yang diberikan ke pemerintah. Dirinya berharap akan ada DBH yang adil bagi daerah penghasil kelapa sawit. Dirinya mengatakan, adanya UU HKPD berpotensi mengurangi Pendapatan Asli Daerah (PAD) provinsi, sehingga harus menyiapkan objek-objek pajak baru untuk dapat mengimbangi.
“Kita juga harus dapat menjaga stabilitas keuangan daerah terjaga dengan baik, apalagi objek pembangunan cukup besar yang dibutuhkan daerah. Kami dari daerah siap mendukung langkah-langkah dari DPD RI,” katanya.
Wakil Ketua BULD DPD RI Ahmad Kanedi mengatkaan bahwa BULD DPD RI akan terus mendampingi Pemda dalam penyusunan Ranperda terkait implementasi UU HKPD. Salah satunya dengan membangun kemitraan dengan Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri dan Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu dalam upaya membangun harmonisasi legislasi pusat-daerah melalui sosialisasi regulasi mengenai pajak daerah dan retribusi daerah di tingkat pusat kepada daerah.
“BULD DPD RI membuka diri untuk menerima konsultasi dari para pemangku kepentingan di daerah, dalam kerangka harmonisasi legislasi pusat-daerah,” ucap Senator dapil Bengkulu ini.***ars