Raut kecewa menyelimuti wajah-wajah puluhan warga Dusun Tangkahan dan Teluk Baru, Desa Medang, Kecamatan Medang Deras, Kamis pagi (2/10). Aula Kantor Camat Medang Deras yang semestinya menjadi saksi upaya penyelesaian sengketa tanah yang telah berlangsung hampir enam tahun, justru menjadi panggung kekosongan kepemimpinan desa.
Undangan resmi Pemerintah Desa Medang Nomor 005/10/DM/X/2025 jelas menyebutkan agenda musyawarah masyarakat bersama perangkat desa dan Muspika pada pukul 09.00 WIB. Namun hingga pertemuan berakhir, sosok yang paling ditunggu—Kepala Desa Medang, Lukman—tak kunjung muncul.
“Kades Pilih Urusan Pribadi”
Ketidakhadiran Kades Lukman dijelaskan oleh Sekretaris Desa, Fatimah Indriani, yang mengatakan bahwa sang kades tengah membesuk abangnya yang sakit di rumah sakit. Alasan ini justru menambah kekecewaan masyarakat.
“Harusnya beliau hadir. Ini bukan sekadar musyawarah biasa, ini menyangkut hak hidup masyarakat—tanah tempat mereka berpijak. Kenapa urusan pribadi lebih diutamakan daripada kepentingan orang banyak?” ungkap Ahmad Jalal, ( bukan nama sebenar )salah satu warga yang hadir, dengan nada kecewa.
Menurut Ahmad, kehadiran Kepala Desa sangatlah penting dalam konflik yang telah menguras energi dan emosi warga selama bertahun-tahun. “Ini bukan pertama kali kami merasa ditinggalkan. Tapi kali ini, di depan Muspika, ketidakhadiran beliau jadi tamparan keras,” lanjutnya.
Yang lebih membuat miris, forum musyawarah tersebut turut dihadiri oleh Camat Medang Deras, Syahrizal, SH, Sekcam Muhammad Reza Akmal, SH, Kanit Reskrim IPDA R. Marbun, SH, Kanit Bimas M. Kadri, SH, serta tokoh agama dan masyarakat. Ketidakhadiran Kades di hadapan para pejabat lintas sektor ini dinilai sejumlah pihak sebagai bentuk pelecehan terhadap institusi pemerintah kecamatan atau Muspika.
“Sikap seperti ini mencederai semangat koordinasi antar instansi. Bagaimana bisa permasalahan besar seperti sengketa tanah, yang sudah bertahun-tahun belum selesai, ditanggapi seakan-akan remeh oleh kepala desa?” ungkap seorang sumber internal Muspika yang enggan disebut namanya.
Tanpa Titik Temu, Warga Didorong Tempuh Jalur Hukum
Meski pertemuan tetap dilanjutkan, absennya Kades membuat diskusi berjalan timpang. Beberapa pihak mencoba menawarkan solusi, namun tidak ada kesepakatan konkret yang berhasil dicapai.
Camat Syahrizal akhirnya menyarankan agar persoalan tanah ini dibawa ke ranah hukum.
“Sebaiknya dibawa ke Pengadilan Tinggi agar ada kepastian hukum. Jangan dibiarkan berlarut-larut seperti ini,” tegasnya di akhir pertemuan.
Krisis Kepercayaan?
Kasus ini menjadi sinyal keras akan adanya krisis kepercayaan antara warga dan pemerintah desa. Bagi masyarakat, Kades adalah simbol penyambung suara dan harapan. Ketika suar?a itu hilang dalam forum penting seperti ini, maka yang tersisa hanya rasa kecewa dan tanya: ke mana lagi rakyat harus mengadu?