Menjaga kewarasan dan akal sehat dalam politik itu penting, sebagai penuntun etis dan moral. Soalnya, politik itu sendiri secara filosofis adalah memperjuangkan nilai (value) untuk kemaslahatan bersama.
Sementara dalam konteks praktis, politik itu berdimensi mengejar kekuasaan semata tanpa mempertimbangkan bagaimana cara memperolehnya.
Maka, dalam dimensi politik praktis terkadang nilai dan moral dikalahkan dengan syahwat berkuasa.
Lalu bagaimana kita menempatkan posisi dalam tarik menarik politik dalam dimensi etis dan praktis.
Di sinilah peran akal, logika, kewarasan, nurani, dan common sense dibutuhkan sebagai alat filter bagi kita dalam menentukan sikap atau preferensi terhadap suatu tujuan.
Seringkali kita melihat fenomena politik, di mana ada sebagian orang menunjukkan perilaku irrasional dalam berpolitik.
Menariknya perilaku irrasional itu muncul bukan karena faktor yang bersifat etis dan moral, tapi lebih disebabkan oleh faktor transaksional atau konsesi politik tertentu.
Dalam fase ini rasionalitas menjadi sesuatu yang tidak penting, bahkan nyaris kehilangan eksistensinya.
Menariknya, perilaku ini dilakukan oleh orang-orang yang kita anggap kelompok rasional, berpendidikan tinggi, dan melek politik.
Hipnotisasi perilaku seperti ini bisa jadi dipengaruhi kultur politik kita yang memang partisan, transaksional, dan terkadang dalam kondisi tertentu menjadi menjadi sangat konvensional.
Secara teoritis setidaknya ada tiga tujuan dari etika politik, di antaranya adalah mengatur kehidupan berpolitik agar dapat berjalan dengan baik dan lancar, menghasilkan individu-individu serta institusi-institusi politik yang berkualitas.
Dan sebagai tolok ukur kepribadian seorang politisi, mulai dari sifat hingga bagaimana kinerjanya.
Etika politik memiliki urgensi tinggi dan sangat diperlukan. Urgensinya semakin meningkat ketika kondisi politik sedang kacau.
Dalam kondisi normal, etika politik tetap memiliki urgensi sebagai code of conduct atau dasar dalam bertindak.
Tentu sebuah organisasi, termasuk negara, memiliki visi dan misi. Para tokohnya harus menerapkan etika politik tidak menyimpang dari visi dan misi tersebut.
Dari segi otoritas, politik selalu membutuhkan legitimasi meskipun betapa kasarnya politik yang dijalankan suatu organisasi.
Legitimasi ini merujuk pada norma dan nilai moral, serta aturan hukum. Dari segi korban, politik yang tidak adil dapat mengakibatkan jatuhnya korban.
Adanya korban akan membangkitkan simpati dan reaksi dari masyarakat yang terusik hingga muncul aksi protes kepada elite politik.
Dari segi kekuatan politik, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang terjadi terus menerus memunculkan kesadaran untuk menyelesaikan masalah secara adil. ***