Selama masa Pemilu 2024 yang lalu, ramai dibicarakan para elit maupun kelompok civil society soal “POLITIK GENTONG BABI” atau merujuk pada istilah asalnya disebut pork barrel politics.
Secara teoritis dan konseptual, sebenarnya istilah politik gentong babi ini hanyalah menggambarkan sebuah kiasan atau gimmick dalam proses politik itu sendiri.
Praktik ini dalam sejarahnya pernah dilakukan para elit pemerintah, kaum kapitalis, dan bangsawan di zaman perbudakan, untuk memberi “angin surga” kepada para budak.
Sebagai politik iming-iming jika mereka bekerja keras, maka akan diberikan hadiah babi yang sudah disiapkan dalam sebuah “gentong”.
Walaupun dalam kenyataannya hadiah daging babi yang dijanjikan itu tidak pernah mereka terima. Secara historis dalam sejarah Indonesia, propaganda mirip politik gentong babi ini pernah dilakukan para penjajah.
Baik Belanda melalui politik etisnya, maupun Jepang dengan politik 3A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia).
Dalam politik etis, kolonial Belanda memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumi putera sebagai imbalan atas kerja rodi (paksa) yang diterapkan.
Sedangkan dalam politik 3 A Jepang, merupakan sebuah propaganda politik untuk menarik simpati dan dukungan rakyat Indonesia agar membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Kedua jenis politik ala gentong babi di atas (politik etis maupun politik 3A) intinya tidak lain hanya sebatas politik PHP (pengharapan palsu) dari para elit kepada rakyat, demi mencapai tujuan politik mereka.
Fakta ini mengingatkan kita bahwa dalam politik itu sampai kapan pun rakyat itu hanya akan terus menjadi “obyek penderitaan” dari akal bulus dan culas para elit politik demi mencapai kuasa dan kepentingannya.
Oleh sebab isu soal politik gentong babi harus dilihat sebagai pesan moral bagi rakyat, bahwa mulai sekarang harus menjadi cerdas dalam politik. Jangan hanya dijadikan martil bagi para penguasa maupun pecundang politik.
Isu politik gentong babi juga dipakai oleh para elit yang saat ini sedang bertarung dalam Pilpres dan Pileg 2024 lalu, dan bahkan isu ini ramai juga dibicarakan oleh para pemohon sengketa PHPU (Perkara Perselisiahan Hasil Pemilu) Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) yang sedang berlangsung sampai saat ini.
Sebagai salah satu basis argumentasi dari para ahli yang dihadirkan para pemohon, untuk menjustifikasi dalil mereka terkait tudingan dugaan Pemilihan Presiden curang.
Padahal menurut saya sangat tidak relevan jika tesis politik gentong babi dijadikan dasar basis argumentasi menyatakan Pemilu curang, alasannya karena saat ini alamnya demokrasi, lembaga pengawasan bekerja dengan baik.
Dan yang paling mendasar rakyat sudah sangat cerdas dan tidak mungkin bisa di ninabobokan dengan harapan palsu oleh para elit.
Justru sebaliknya dalam sistem politik transaksional seperti saat ini, justru elit yang “dikerjai” oleh pemilih, dalam bentuk praktik money politics.
Dalam praktik modern, politik gentong babi adalah upaya lembaga legislatif untuk menyelipkan sejumlah dana ke proyek lokal anggaran yang lebih luas.
Walaupun proyek tersebut sebenarnya tidak berhubungan langsung juga berdampak besar, bagi masyarakat saat itu.
Sementara Annie Duke dalam buku Quit (2022), politik gentong dipahami sebagai bentuk penggunaan dan pengalokasian dana publik, demi mendapat keuntungan politik, dengan mengalihkan anggaran pada keperluan politik.
Merujuk pada pengertian di atas, maka sebenarnya politik gentong babi telah lama dipraktik dalam setiap kontestasi politik.
Hanya saja saya melihatnya, untuk saat ini praktik politik gentong babi berbanding terbalik dengan praktik awalnya dulu yang hanya menguntungkan elit.
Tapi sekarang konsep politik gentong babi berubah menjadi politik take and give dengan hukum saling menguntungkan. Semoga mencerahkan.
Oleh: Elfahmi Lubis*
(Dosen/Ketua LBH-AP Muhammadiyah)
Note: Dilarang dipublikasi tanpa izin dari penulis