Papua – Suaraindonesia1, Anggota DPD RI asal Papua Barat Dr. Filep Wamafma S.H., M.Hum menyoroti keputusan pemerintah bersama DPR RI yang akhirnya mengesahkan tiga draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Provinsi Papua. Filep meminta agar aspek keamanan tidak dijadikan acuan utama pembentukan DOB di Papua
Pasalnya, Filep menilai, faktor utama yang mendasari keputusan pemerintah dan DPR itu adalah aspek keamanan yang melihat ketiga DOB yakni Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Selatan dan Provinsi Pegunungan Tengah sebagai daerah rawan konflik terutama konflik antara TNI/Polri dan TPNPB-OPM.
Baca: Diklaim Malaysia, Ketua DPD RI Tegaskan Reog Ponorogo Kesenian Khas Indonesia
“Ketiga daerah itu dipandang memiliki potensi konflik, baik itu konflik politik dan juga konflik yang paling utama adalah konflik antara TNI/Polri dan kelompok TPNPB-OPM. Sehingga pemerintah dan TNI/Polri berharap dengan pemekaran daerah dapat lebih fokus menyelesaikan konflik bersenjata khususnya di wilayah Pegunungan Tengah dan sekitarnya,” ujarnya, Sabtu (9/4/2022).
“Sedangkan daerah lain seperti Papua Utara, Papua Barat Daya belum dianggap sebagai daerah yang rawan konflik sehingga dinilai belum urgent dan belum waktunya untuk dimekarkan,” sambungnya.
Di sisi lain, Filep menyampaikan bahwa berdasarkan kunjungan kerja Komite I DPD RI di Papua, telah mendapati bahwa pemerintah provinsi, MRP dan DPR turut menolak pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) tersebut. Hal yang sama juga diutarakan oleh masyarakat, organisasi pemuda hingga gereja termasuk tokoh-tokoh adat setempat.
Filep memandang, hingga saat ini pemerintah belum mampu menjawab kekhawatiran masyarakat asli Papua terkait pemekaran. Menurutnya, masyarakat masih diselimuti kekhawatiran akan termarginalkan, ketakutan akan meningkatnya eskalasi gangguan keamanan dan pemenuhan terhadap pelayanan dasar.
“Sejauh ini pemerintah pusat belum mampu menjawab masalah-masalah yang dikhawatirkan oleh masyarakat, kelompok, organisasi dan juga kelompok lain bahwa apakah ada ketentuan dengan pemekaran provinsi ini, orang asli Papua sebagai penduduk asli terproteksi dari kekhawatiran termarginalkan dalam aspek ekonomi, sosial, politik dan lain sebagainya. Selain itu, muncul kekhawatiran akan lebih tinggi lagi eskalasi politik dan keamanan termasuk juga yang berdampak pada makin tingginya tingkat pelanggaran HAM di Papua dan banyak faktor lain yang sampai dengan saat ini belum mampu dijawab pemerintah,” ungkapnya.
Menurut Wakil Ketua I Komite I DPD RI ini, pemerintah bersama DPR RI tidak perlu terburu-buru tentang agenda pemekaran provinsi di Papua sepanjang pembentukan DOB itu masih menuai konflik dan pertentangan dari masyarakat.
Terkait dengan tujuan mendekatkan pelayanan bagi masyarakat, Filep menyampaikan bahwa DPD RI lebih condong kepada aspirasi pembentukan DOB di tingkat kabupaten maupun kota. Menurutnya, hal itu lebih realistis untuk mendekatkan pelayanan bagi masyarakat terutama bagi orang asli Papua.
“Kami memandang bahwa keputusan ini bukanlah suatu aspirasi yang berdasarkan kebutuhan dan keinginan dari bawah tetapi kebijakan pemekaran di Papua ini pemerintah lebih condong menggunakan pendekatan top-down, artinya tidak lagi menghendaki adanya aspirasi dari rakyat. Pemerintah menggunakan haknya dari pusat dan wajib dilaksanakan di daerah,” katanya.
Menurutnya, dalam hal ini, era kepemimpinan Presiden Jokowi hari ini bersifat otoriter dalam merumuskan kebijakan di daerah. Selaku senator, Filep melihat bawah keputusan tersebut merupakan kebijakan dan strategi nasional pemerintah pusat di Papua yang salah satunya didasarkan kepada aspek keamanan.
“Dalam beberapa kesempatan saya sudah mengingatkan kepada Mendagri dan juga pihak-pihak terkait termasuk DPR bahwa jangan jadikan Papua sebagai laboratorium konflik. Sudah cukup peristiwa konflik itu terjadi akibat kesalahan dan pelanggaran HAM masa lalu yang sampai dengan saat ini tidak pernah dituntaskan apalagi diselesaikan,” terangnya.
“Saya berharap pemerintah memahami itu dan mengerti situasi itu serta berpikir lebih profesional dan memiliki dasar yang kuat sehingga tidak ada lagi konflik yang memakan korban pelanggaran HAM baru di era pemekaran wilayah,” katanya.
Selain itu, Filep juga menyoroti kinerja Kemendagri berkaitan dengan rencana pemekaran wilayah ini. Ia memandang Mendagri harusnya bersinergi dengan banyak pihak termasuk kepala daerah dan lembaga di daerah. Menurutnya, dalam persoalan ini Mendagri sudah tidak mampu melakukan komunikasi secara langsung dengan pemerintah provinsi dan daerah karena berbeda pandangan.
“Hari ini pemerintah pusat menciptakan satu konsep besar terkait dengan gap, pandangan dan cipta kondisi yang luar biasa antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan rakyat termasuk antara pemerintah daerah dan pusat ini menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan yang dipegang oleh Mendagri adalah sistem yang berada di luar hakekat pemerintahan yang diharapkan, yaitu hubungan pemerintah pusat dan daerah berjalan tidak seturut dengan asas demokrasi. Tetapi dalam kenyataannya adalah lebih kepada sistem otoriter,” ujarnya.
Menurut Filep, perdebatan dan persoalan pemerintah daerah harus dilaksanakan berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah dan tidak berdasarkan keinginan pemerintah pusat. Ia mengatakan, pemekaran di Papua ini merupakan konsep dan pikiran pemerintah pusat yang dipelopori oleh Bappenas, Mendagri dan DPR.
“Dan lagi Papua jangan dijadikan sebagai laboratorium konflik di tanah Papua karena Papua membutuhkan kedamaian, kenyamanan dan Papua juga membutuhkan pembangunan kesejahteraan masyarakat dengan cara yang tidak hanya sebatas pemekaran wilayah tapi masih banyak cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya.**