<
spot_img
BerandaOPINISidang MK: "Tuduhan Curang Melawan Suara Rakyat" (Analisis Kritis)

Sidang MK: “Tuduhan Curang Melawan Suara Rakyat” (Analisis Kritis)

Author

Date

Category

____ VOX POPULI VOX DAI _____

Ini bukan scandalising the court untuk membangun opini di luar pengadilan, tetapi sebuah analisis berbasis akademis. Setelah kita disuguhkan secara seksama dinamika dalam persidangan sengketa PHPU di MK, maka saya menarik analisa yang dibangun dari hasil kolaborasi, cammon sense, analisa, dan dialektika keilmuan.

Dalam sengketa PHPU di Mahkamah Konstitusi kemarin (27/3/2024), setidaknya saya melihat ada beberapa perspektif hukum yang terjadi.

PERTAMA, secara formil pemohon dan pihak terkait sudah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam regulasi MK, mulai dari UU Mahkamah Konstitusi, hukum acara, dan PMK. Terbukti dalam proses pendaftaran dan registrasi permohonan dari para pemohon, maupun pihak terkait diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

KEDUA, secara materiil, permohonan pemohon 01 dan 03 menurut analisa saya secara hukum, bahwa isi permohonan sebagaimana yang kita dengar ketika disampaikan oleh para pemohon (termasuk prinsipal 01 dan 03) tidak menyentuh pada substansi materiil permohonan yang diajukan, terkait soal perselisihan hasil suara Pilpres. Padahal di sinilah substansi pokoknya secara hukum.

Harus dipahami namanya sidang sengketa PHPU, maka pastilah yang dipersoalkan adalah perselisihan suara bukan yang lain. Sekali lagi anda boleh sangat tidak bersepakat dengan saya, tapi dalam analisa saya isi permohonan yang ajukan tim 01 dan 03 berangkat dari argumentasi hukum yang sifatnya asumtif, naratif, gimmick, provokatif, dan berdasarkan informasi tidak terverifikasi.

Tidak terdengar selama pembacaan permohonan di depan sidang Mahkamah Konstitusi, mereka menjelaskan fakta dan bukti terkait dengan tuduhan kecurangan yang disampaikan, semuanya baru bersifat narasi dan asumsi.

Jika basis argumentasi permohonon adalah soal kecurangan Pilpres berupa tuduhan soal dugaan kapitalisasi bansos dan keterlibatan aparatur negara baik sipil maupun non sipil, maka setidaknya dalam permohonan terpotret sajian fakta kualitatif maupun kuantitatif atas tuduhan kecurangan yang dimaksud.

Bukan menguliti kesalahan pemerintah dalam hal presiden yang dituduh dengan dugaan mempergunakan seluruh resources untuk menguntungkan salah satu pasangan calon tertentu.

Kalau bicara Bansos jelas program pemerintah yang disahkan dalam UU APBN. Lalu secara hukum dalam konteks sengketa PHPU yang diajukan 01 dan 03, di mana letak signifikansi yuridisnya?

KETIGA, soal tuduhan politik dinasti berkaitan dengan pencalonan Gibran sebagai cawapres, fakta hukum tidak cukup meyakinkan untuk menguatkan argumentasi atas tuduhan yang disampaikan.

Soalnya, mekanisme, prosedur, dan tata cara secara administratif dan hukum sudah di jalan secara legal sampai pada kesimpulan penetapan Gibran sebagai cawapres. Jika hal itu dikaitkan dengan Putusan MK Nomor 90/PUU/2024, maka telah dichallange secara hukum melalui proses uji materi di Mahkamah Konstitusi, dan semuanya menguatkan putusan MK Nomor.90 sebagai sebuah putusan persidangan norma bukan orang atau badan hukum.

Sementara itu berkaitan dengan adanya persoalan etika dibalik keluarnya Putusan MK Nomor 90/2024, juga sudah di challange melalui sidang etik di MKMK, di mana dalam putusan terbukti terjadi pelanggaran etik berat dan sedang dilakukan seluruh hakim MK.

Di mana salah satu bentuk sanksi MKMK adalah memecat Anwar Usman sebagai Ketua MK dan melarang yang bersangkutan menjadi panel hakim dalam persidangan yang terkait PHPU Pilpes, Pileg, dan Pilkada. Bahkan, baik MKMK maupun DKPP, menguatkan dan menilai putusan MK Nomor 90/2024 adalah sah dan sifatnya putusannya adalah final and binding.

Dengan demikian secara yuridis pencalonan Gibran sebagai paslon cawapres adalah sah secara hukum, walaupun “tercederai” secara etika.

KEEMPAT, dalam sengketa PHPU pastilah pihak termohon utama atau prinsipal adalah KPU karena menetapkan SK KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten dan Kota dalam Pemilu 2024.

Dan SK inilah sebagai obyek gugatan para pemohon, baik 01 maupun 03 di MK. Sementara 02 dan Bawaslu hanya pihak terkait yang dimohonkan dalam sengketa tersebut. Tapi menariknya, dalam permohonan 01 dan 03 yang dibaca di depan persidangan Mahkamah Konstitusi tidak ada yang mempersoalkan soal perselisihan suara Pilpres.

Malah yang disinggung malah soal Sirekap sebagai sebuah sistem dan instrumen berbasis elektronik dalam penghitungan suara yang dalam UU Pemilu Nomor 7/2017 dan PKPU sama sekali bukan sebuah sistem yang hasilnya diakui secara legal dalam proses perhitungan suara Pilpres tetapi sekedar alat bantu sebagai bentuk akuntabilitas KPU kepada publik dalam konteks informasi dan komunikasi Pemilu.

Sementara yang sah dan legal adalah hasil penghitungan manual yang berjenjang dan terakhir ditetapkan KPU RI dalam bentuk SK Penetapan Hasil Perhitungan Suara Nasional. Dalam pokok permohonan yang diajukan 01 dam 03, soal fakta perselisihan angka perhitungan manual berjenjang sama sekali tidak disinggung baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Lalu pertanyaan apanya yang dipersengketa dalam PHPU di MK ?

KELIMA, dalam praktik persidangan di MK selama berdiri, sengketa PHPU tidak lebih sebagai “Mahkamah Kalkulator”. Artinya jika anda menuduh ada dugaan penggelembungan atau pengurangan suara, maka pertanyaan argumentatif yuridisnya adalah terjadi di TPS mana, siapa yang melakukan, modus yang digunakan, dan berapa angkanya.

Selanjutnya, signifikansi suara tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan hasil suara. Jika anda tidak bisa membuktikan, maka dipastikan permohonan anda menjadi sumir, kabur, atau meminjam istilah dalam hukum perdata, gugatan anda itu adalah obscuur libel.

Walapun saya sendiri berpendapat, seharusnya MK tidaknya sebagai mahkamah bagi keadilan prosedural tapi juga seharusnya sebagai mahkah keadilan substansial. Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyelesaikan sengketa perselisihan hasil Pemilu selalu menjadi tumpuan para pencari keadilan yang merasa diberlakukan secara tidak adil dalam proses kontestasi politik pemilu.

Hal berangkat dari keberadaan MK yang secara hukum memiliki kewenangan dalam menangani perkara PHPU, dan secara konstitusional MK dianggap sebagai mahkamah yang dapat memberikan putusan yang adil dalam konteks keadilan substansial, dan bukan hanya keadilan prosedural.

Namun sekali lagi dalam praktiknya MK lebih mengutamakan aspek formil dan prosedural dibandingkan pada aspek substansial dari gugatan sengketa PHpU yang diajukan para pemohon.

Implikasi nyata yang terjadi, seolah-olah menegasikan bahwa siapa saja yang terlibat dalam kontestasi politik dalam Pemilu boleh melakukan tindakan “tidak fair play” dan atau bahkan pelanggaran serius seperti money politics, mengkapitalisasi bantuan sosial, mengkapitalisasi dana APBD/APBN, mobilisasi ASN, dan tindakan pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM) lainnya asal tidak mempengaruhi selisih suara para paslon.

Namun sekali lagi hanya sebuah analisa dalam perspektif hukum yang saya pahami dan pelajari, jika anda tidak sepakat maka biasakan menggunakan tradisi intelektual, maka bantahlah dengan data, analisa, dan perspektif hukum anda. Jangan biasakan dengan cara prejudise.***

Oleh: Elfahmi Lubis
(Akademisi/Ketua LBH-AP Muhammadiyah)

Note: Dilarang publish tulisan ini ke media tanpa hak dan atau tanpa izin dari penulis.

iklan

IKLAN

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Linda Barbara

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum imperdiet massa at dignissim gravida. Vivamus vestibulum odio eget eros accumsan, ut dignissim sapien gravida. Vivamus eu sem vitae dui.

Recent posts