Suaraindonesia1.id, Samarinda, – Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah secara langsung (PTSL) dihandel tim verifikasi yang langsung dipimpin lurah. Dari itu, koordinasi menurun ke setiap RT di kelurahan untuk mendistribusikan formulir PTSL ke warga yang menginginkan mengubah status tanahnya.
Saya diwakilkan istri ke penyuluhan BPN soal PTSL 2021 lalu, ada kerjaan, intinya formulir pendaftaran itu RT yang salurkan ke warga yang ingin buat sertifikat tanah, dan ada administrasi Rp 250 ribu,” ucap Reno Darsono, ketua RT 8 Jalan Kehewanan, Sungai Kapih,
Kecamatan Sambutan, ketika bersaksi, (22/3/2022).
Dia, dihadirkan JPU Indriasari ke persidangan korupsi pungutan liar PTSL di Sungai Kapih untuk dua terdakwa perkara, Edi Apriliansyah (mantan lurah Sungai Kapih) dan Ruslie AS (koordinator PTSL Sungai Kapih).
Baca: BPBD Kabupaten Pulang Pisau Bantu Warga Kapal Tenggelam di Kecamatan Bahaur
Kembali ke saksi, selepas penyuluhan itu, beberapa warga meminta formulir pendaftaran PTSL. Karena belum menerima form tersebut, dia pun ke kelurahan untuk mengambil formulir itu.
Namun, di aula kantor Kelurahan Sungai Kapih saksi bertemu dengan terdakwa Ruslie AS saat itu dia (terdakwa) bilang, formulir nanti diisi timnya.
Saya enggak tahu dan agak bingung juga. mungkin ada sosialisasi lanjutan dan saya enggak ikut.
Jadi langsung pulang dan sampaikan ke warga kalau langsung ambil di kelurahan,” paparnya.
Berselang waktu, beberapa mengeluhkan soal pengambilan formulir yang dipatok biaya sebesar Rp 100 ribu. Karena tak mengerti, saksi memberikan jawaban ke warga seadanya.
Mungkin untuk administrasi,” imbuhnya. Tak lama, dia mendapat pesan singkat di aplikasi perpesanan dari terdakwa Ruslie untuk menginfokan ke warga.
Isi pesan itu meminta warga yang sudah memasukkan formulirnya untuk membayar biaya PTSL. “Saya teruskan ke warga info itu,” tuturnya.
Keluhan dari warga kembali muncul. Kali ini menyoal ada biaya lagi yang harus dibayar mencapai Rp 1,5 juta. Padahal, dari sosialisasi BPN hanya Rp 250 ribu.
Ada pula, yang mengeluhkan mengapa ukuran lahan berbeda tapi dipatok harga yang sama.
Saya enggak ngerti juga. Sempat tanya forum RT kenapa bukan kami, para RT yang distribusikan pun pada enggak tahu,” jelasnya.
Disinggung majelis hakim Pengadilan Tipikor Samarinda yang dipimpin Jemmy Tanjung Utama bersama Arwin Kusumanta dan Suprapto, mengapa warga tetap membayar meski nominal yang dibayar berbeda dengan yang disosialisasikan.
“Menurut saksi, para warga tetap membayar karena malas repot. “Simpel aja sih, Pak. Warga malas. Kan sering tuh kalau enggak bayar administrasinya njelimet,” pungkasnya. (bbm)*