Senin, 22 April 2024 yang akan datang, 8 orang Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang menyidangkan perkara perselisihan hasil suara Pemilu (PHPU) Pilpres 2024 akan menggelar sidang pemungkas dengan agenda pembacaan putusan.
Apapun putusannya nanti jika palu hakim sudah diketok, diharapkan dapat mengakhiri seluruh polemik dan sengkarut soal Pilpres 2024. Paling penting lagi diharapkan semua pihak, baik yang terlibat langsung dalam sengketa maupun seluruh rakyat Indonesia, bisa menerima dengan lapang dada.
Itulah cara beradab yang harus ditunjukkan, ketika kita sepakat bernegara hukum. Pemerintahan harus tetap berjalan dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana yang dikemukakan dalam mukadimah UUD NKRI 1945.
Tidak boleh terjadi stagnasi dan kekosongan kekuasaan karena akan menimbulkan implikasi serius secara hukum dan non hukum. Paling ditakutkan akan terjadi krisis politik dan sosial serius yang berimbas pada ketidakpastian dan mengancam disintegrasi bangsa. Presiden dan kekuasaan negara boleh berganti, tapi persatuan dan kesatuan bangsa tetap nomor wahid
Berbagai analisis dan prediksi bermunculan dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat awam sampai elit, terkait soal apa putusan MK nanti dalam sengketa PHPU Pilpres 2024. Saya meyakini beragam analisis dan prediksi itu sebagai sesuatu yang sehat dalam negara demokrasi sepanjang itu wujud manifestasi partisipasi publik dalam mengawal tegaknya demokrasi dan keadilan Pemilu.
Lebih substantif lagi partisipasi publik diperlukan sebagai kontrol bagi lembaga peradilan agar putusanya memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemaslahatan (kemanfaatan).
Berdasarkan Pasal 77 UU MK, juncto Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023, putusan MK dalam sengketa Pilpres 2024 ada tiga jenis, yaitu (1) permohonan tidak dapat diterima, (2) permohonan dikabulkan, atau (3) permohonan ditolak.
Untuk opsi 1, PERMOHONAN TIDAK DAPAT DITERIMA, opsi ini tidak mungkin lagi dijatuhkan, karena ketika sudah melewati seluruh tahapan persidangan di MK berarti permohonan pemohon 01 dan 02 sudah memenuhi syarat formil untuk diputuskan pokok permohonannya. Dengan demikian, berarti putusan MK bakal menyisakan 2 opsi lagi.
Opsi 2, MK akan MENOLAK SELURUH PERMOHONAN PEMOHON, lalu hanya memberikan catatan dan usulan perbaikan Pilpres ke depannya. Dan opsi ini yang paling memungkinkan dan rasional untuk diputuskan.
Pertimbangan obyektif, bahwa paslon 02 dipilih lebih dari 96 juta pemilih (58%) melalui proses Pemilu yang demokratis. Selain itu, putusan ini dapat meminimalisir dampak non hukum yang bakal terjadi seperti gejolak politik dan sosial.
Ditambahkan, lagi fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, belum cukup menyakinkan hakim MK bahwa telah terjadi pelanggaran Pemilu TSM (terstruktur, sistematis, dan massif) dalam pelaksanaan Pilpres 2024 lalu.
Sementara itu belajar dari praktik hukum yang terjadi selama ini, hanya pelanggaran TSM yang terbuktilah, memungkinkan hakim MK menjatuhkan putusan menerima petitum para pemohon (misalnya dalam kasus beberapa Pilkada).
Lalu opsi 3, putusan MK akan MENGABULKAN SELURUH PERMOHONAN PEMOHON, baik untuk pemohon 01 maupun 03, atau mengabulkan salah satu permohonan dari mereka.
Opsi ini rasanya sulit terjadi, karena akan menimbulkan resiko politik dan sosial yang besar. Selain itu bakal terjadinya, kekosongan hukum ketika putusan akan dieksekusi. Misalnya, soal bagaimana mekanisme Pilpres ulang, siapa paslon yang akan berkontestasi, apakah masih dibolehkan ada paslon lain (baru), selain ketiga paslon yang berkontestasi di Pilpres 2024. Termasuk, sederet kerumitan hukum lainnya.
Dalam opsi 3, sebenarnya putusan MK ada dalam bentuk varian lain, yaitu MENGABULKAN SEBAGIAN PERMOHONAN PEMOHON, baik permohonan paslon 01 maupun 02. Misalnya, MK membuat putusan yaitu mendiskualifikasi cawapres Paslon 02 yaitu Gibran Rakabuming Raka, dan hanya melantik capres Prabowo Subianto, lalu memerintahkan dilaksanakannya Pasal 8 ayat (2) UUD 1945.
Persoalannya, jika opsi ini yang diambil ada problematik hukum bakal terjadi, karena opsi ini tidak ada dalam petitum permohonan 01 dan 02. Padahal dalam asas hukum yang kita pelajari bahwa hakim tidak memutuskan sesuatu d iluar (ultra petita, meminjam istilah hukum perdata) yang dimohonkan.
Berbicara dalam konteks hukum, putusan yang ultra petita memang menjadi diskusi hukum yang tidak ada habisnya, banyak pihak yang pro terhadap ultra petita, dengan dalih sebagai jalan menuju keadilan substantif.
Tapi tak jarang pula yang kontra akan hadirnya ultra petita karena bertentangan dengan asas kepastian hukum dan dapat menjadi suatu preseden buruk untuk membenarkan sebuah kesewenangan-wenangan dan penyimpangan yang dilakukan oleh suatu lembaga negara.
Melarang seorang hakim untuk memutus melebihi dari apa yang dituntut. Alasannya adalah sederhana, semua kembali kepada taat asas hukum bersifat pasif. Makna dari asas tersebut adalah majelis tidak boleh menambah sendiri hal-hal yang lain, dan tidak boleh memberikan lebih dari yang diminta oleh para pihak (ultra petita non cognoscitur).
Dalam negara hukum dengan tradisi civil law makna keadilan yang paling ideal adalah lahir dari hukum tertulis (yang penting adalah pasti), berbeda dengan common law yang bertumpu pada prinsip judge made law (mengikuti dinamika keadilan yang hidup di masyarakat).
Dengan adanya ultra petita maka hal tersebut mencerminkan ketidak konsistenan sistem hukum yang Indonesia telah dianut selama ini.
Namun jika merujuk Pasal 53 ayat (2) Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2024 diatur, Dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana pada ayat (1).
Norma tersebut, dapat dimaknai, mahkamah membuka peluang ultra petita, bukan hanya di luar yang dimintakan para pihak, bahkan pun di luar ketentuan Peraturan MK atau bahkan UU MK,” (Denny Indrayana, 2024)
Itu sekilas opsi-opsi putusan MK terkait sengketa PHPU Pilpres 2024. Tentang opsi mana yang akan diputuskan sepenuhnya menjadi kewenangan para majelis hakim.
Kita cuma bisa berharap majelis hakim bisa memutuskan perkara ini dengan penuh kehati-hatian dan mengedepan prinsip kenegarawanan, sehingga terwujud keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga mencerahkan.
Oleh : Elfahmi Lubis
(Dosen/Ketua LBH-AP Muhammadiyah)
dilarang me-publish tanpa seizin penulis