Exclusive Content:

Menelisik Dampak Keberadaan PT. DDP di Mukomuko

Menilisik Dampak Keberadaan  PT. DDP (Daria Dharma Pratama), bagi...

Manajeman PT. DDP Bantah Telah Terjadi Konflik Agraria

Viral pemberitaan di media massa dan medsos, yang menyebutkan...

Linmas Berkarya Kamtibmas Terwujud

Desa Pasar Baru Kecamatan Ipuh Kabupaten Mukomuko Bengkulu, mengadakan...
BerandaOPINIDeponering: "TERSANGKA" Seumur Hidup?

Deponering: “TERSANGKA” Seumur Hidup?

Author

Date

Category

Ada hal menarik dari proses persidangan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu.deponering

Hal ini diawali dari aksi walk out (keluar) salah seorang kuasa hukum pemohon Paslon 01, BW mantan pimpinan KPK dari ruangan persidangan MK, ketika pihak terkait mengajukan ahli, yaitu Prof. Dr. Eddy Hiariej, seorang Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, untuk menyampaikan keterangan di hadapan sidang mahkamah.

Aksi walk out BW ini didasari atas sikap beliau, yang mempersoalkan status hukum ahli yang akan dikeluarkan sprindik baru oleh KPK. Untuk diketahui sebelumnya status Eddy Hiariej, pernah ditetap sebagai tersangka oleh KPK, dalam dugaan kasus suap dan gratifikasi.

Namun yang bersangkutan melakukan perlawanan hukum, atas penetapan status tersangka tersebut dengan mengajukan gugatan praperadilan di PN Jakarta Selatan.

Dan oleh majelis hakim praperadilan dikabulkan, di mana dalam putusannya menyatakan bahwa penetapan tersangka atas Eddy Hiariej oleh KPK adalah TIDAK SAH. Dengan putusan itu, maka gugur status tersangka yang disematkan pada yang bersangkutan.

BW mempersoalkan bahwa KPK akan mengeluarkan Sprindik baru terkait status hukum yang bersangkutan, sehingga sebagai bentuk konsistensi sikap atas persoalan korupsi, maka BW menolak ketika dihadirkan sebagai ahli dalam sidang MK.

Sikap walk out BW ini langsung direspon Eddy Hiariej dengan menyatakan bahwa apa yang disampaikan oleh BW tidak utuh terkait informasi soal status tersangka dirinya.

Untuk menghindari tindakan pembunuhan karakter, sehingga ia perlu memberikan klarifikasi bahwa fakta sebenarnya baru sebatas info bahwa KPK akan mengeluarkan sprindik umum dengan melihat perkembangan kasus.

Dengan demikian beliau menegaskan, bahwa sampai saat ini ia tidak berstatus tersangka sesuai putusan praperadilan PN Jakarta Selatan, dan belum ada keputusan KPK tentang penetapan tersangka baru untuk dirinya.

Bahkan Eddy Hiariej sempat memberikan sindiran menohok kepada BW, yang pernah juga berstatus tersangka dalam kasus menyuruh orang lain memberikan kesaksian palsu di pengadilan pada tahun 2015.

Namun saat itu istilah Eddy Hiarieh, BW “mengharapkan balas kasihan” kepada Jaksa Agung melalui DEPONERING (perkara dikesampingkan).

Dalam tulisan ini, saya akan memfokuskan soal implikasi pemberian deponering terhadap status hukum TERSANGKA pada seseorang.

Apakah benar seseorang tersangka yang perkaranya sudah P21 (BAP dinyatakan lengkap), lalu dengan alasan tertentu dideponering oleh jaksa agung, maka yang bersangkutan akan tetap menyandang status TERSANGKA seumur hidup atau selamanya?. Sampai nantinya perkara itu dibuka kembali dan diajukan ke pengadilan serta memperoleh putusan inkrach.

Mengapa saya ulas masalah ini, karena hal ini suatu pengetahuan baru dalam konteks hukum, khususnya hukum pidana.

Untuk membantu menjelaskan, saya mencoba membaca berbagai literasi dan praktek hukum yang pernah terjadi, sehingga mampu menjawab rasa penasaran saya, apakah benar seseorang tersangka, yang perkaranya di deponering akan menyandang status tersebut seumur hidup.

Dalam penegakan hukum ada sebuah asas, yang namanya asas legalitas dan asas oportunitas dengan menimbang manfaat apakah suatu tindak pidana dapat diteruskan atau tidak, hal ini terdapat di dalam deponering.

Dalam deponering memang jaksa dapat menggunakan asas oportunitas, yaitu penuntut umum tidak diharuskan menuntut seseorang meskipun yang bersangkutan telah melakukan suatu tindak pidana dengan pertimbangan jika orang tersebut dituntut, maka akan mengganggu kepentingan umum.

Dalam konteks BW, saya belum mendapat informasi lengkap “menganggu kepentingan umum” apa yang akan terjadi jika perkara yang bersangkutan tetap dilanjutkan ke proses peradilan.

Namun setidaknya, saya berpendapat karena sosok BW ini dikenal aktivis yang selalu mengkampanyekan isu anti korupsi, maka ditakut jika kasusnya diproses hukum akan menimbulkan protes dalam bentuk kegaduhan di publik.

Ini baru tesis saya, tapi apa alasan sebenarnya perkara BW waktu itu dideponering hanya pihak kejaksaan yang tahu.Mengutip Pasal 35 huruf c UU No. 16 Tahun 2004, sebagaimana diubah dalam UU No. 11 Tahun 2021, tentang Kejaksaan RI, deponering atau pengeyampingan perkara demi kepentingan umum adalah kewenangan Jaksa Agung.

Kepentingan umum di dalam Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan yang dimaksud adalah kepentingan bangsa, negara, dan atau kepentingan masyarakat luas.

Menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir mengatakan bahwa belum ditemukan ketentuan lanjutan mengenai ukuran yang jelas dari frasa ‘kepentingan umum’ dalam deponering.

Semestinya, jika Jaksa Agung diberikan kewenangan berdasarkan UU Kejaksaan, wewenang itu harus ada parameter penggunaannya, seperti yang penyidik kepolisian.

Di mana kalau akan melakukan SP3 terhadap seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka atau akan melakukan tindakan penangkapan, penyitaan, penggeledahan, dan penetapan mereka memiliki SOP yang jelas. (Mudzakkir dikutip dalam hukum online)

Seharusnya deponering yang menjadi kewenangan Jaksa Agung ini sebenarnya, menurut hemat saya mestinya juga merujuk pada penjelasan pasal 77 KUHAP, yaitu yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.

Dengan demikian frasa “demi kepentingan umum” jaksa agung bisa mengesampingkan suatu perkara seseorang, menurut pandangan saya berpotensi melanggar tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Selain itu juga berpotensi melanggar prinsip hukum “equality before the law”, dimana semua orang seharusnya diberlakukan sama dan setara di depan hukum.

Semoga tulisan ini mencerahkan, dan jika ada pendapat dan argumentasi lain yang mampu menjelaskan lengkap komprehensif persoalan ini sangat saya harapkan, agar kita bisa menjadi bagian yang mampu memberikan edukasi dan literasi hukum kepada publik. Tabik !!! ***

note : Dilarang dipublikasi tanpa izin Penulis.

Oleh : Elfahmi Lubis
(Dosen/Ketua LBH-AP Muhammadiyah)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Linda Barbara

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum imperdiet massa at dignissim gravida. Vivamus vestibulum odio eget eros accumsan, ut dignissim sapien gravida. Vivamus eu sem vitae dui.

Recent posts

Recent comments