Pemilu 2024 memasuki tahap game over, walaupun tahapan penghitungan suara masih terus berjalan. Data terakhir real count KPU, proses penghitungan suara telah mencapai 70 persen, dan proses pleno berjenjang rekapitulasi hasil penghitungan suara sudah mulai berjalan. negeri
Tinggal tersisa saat ini, kalkulasi suara dari peserta pemilu siapa yang bakal melenggang ke senayan untuk DPR RI, begitu juga untuk DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Ada yang meratap menangis ketika dihadapkan pada kenyataan tidak terpilih, dan ada yang menari bergembira ketika berhasil lolos ke parlemen. Kenyataan lain yang mengikuti, ada yang di antara para caleg mengalami gangguan jiwa ringan, sedang, dan berat.
Bahkan, ada juga yang meratap ludesnya harta benda tanpa tersisa karena dijual untuk biaya caleg.
Pemilu 2024 juga, telah kembali menguatnya tradisi Mataram dalam politik Indonesia. Walaupun tesis ini mudah sekali dibantah dengan argumentasi normatif dan politik, bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih yang dijamin dalam konstitusi.
Argumentasi lain bahwa jabatan politik tersebut diperoleh bukan karena penunjukan sepihak, tapi lewat sebuah kontestasi politik melalui mekanisme elektoral.
Namun sebuah realitas yang tak terbantah dapam sistem politik Indonesia, kekuasaan dan kapital telah mengalahkan integritas, kompetensi, dan akal sehat.
Bukan cerita nestapa dibalik serba serbi Pemilu 2024 yang ingin saya sampaikan pada tulisan sederhana ini, tapi bagaimana masa depan demokrasi kita dengan sistem elektoral yang sangat transaksional dan oligarkhis ?
Fenomena anak, isteri, keponakan, dan suami pejabat seperti menteri, gubernur, bupati, dan walikota. Lalu para keluarga penguasa parpol, dan orang-orang kaya memiliki akses ekonomi, mendominasi kursi-kursi parlemen di semua tingkatan.
Semakin tidak tersisa para para pejuang politik dan orang-orang yang kompeten serta berintegritas tapi tidak punya uang untuk terpilih dalam sirkulasi elit kekuasaan negeri ini.
Nyaris juga tak tersisa tempat dalam struktur kekuasaan bagi mereka yang tidak memiliki akses modal dan elit. Ini sebuah kenyataan kelam untuk mereka yang merasa bahwa demokrasi dan sistem politik bangsa ini masih dianggap baik-baik saja.
Jargon yang sering terdengar bahwa “tidak akan makan siang gratis di politik”, dan “tidak cukup popularitas, tapi yang paling menentukan adalah isi tas”, seolah-olah memperoleh legitimasi di negeri ini.
Urusan elektoral sepertinya hanya miliki mereka yang berada dalam circle oligarkhi. Siapa yang memiliki akses di episentrum kekuasaan dan modal seakan menjadi pemilik negeri ini.
Jargon kampanye para elit yang berapi-api sok populis, nasionalis, dan patriotis tak lebih hanya pidato yang manipulatif yang berpijak pada retoris dan jauh semakin jauh.
Praktik oligarki politik dan tradisi politik “kaula” yang feodalistik masih sangat kuat dalam budaya politik (politic culture) Indonesia saat ini.
Di mana seharusnya budaya politik tersebut sudah kita kubur dalam-dalam ketika kita telah sepakat memilih demokrasi modern dalam sistem politik kita.
Kuatnya tradisi politik gaya Mataram, secara budaya bisa dipahami karena mendapat legitimasi argumen, bahwa memang Indonesia secara historis berembrio dari tradisi pemerintahan kerajaan yang berbalut klenik dan mistis.
Sebut saja Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Mataram, Pasai, Borneo, Ternate, Tidore, dan lain-lain.
Menguatnya tradisi Mataram tidak saja dalam perilaku politik, tapi juga menguat dalam bentuk perilaku yang diwujudkan relasi “raja dan hamba”. Relasi atasan dan bawahan di dalam birokrasi kita diwarnai perilaku “menjilat” alias “setor muka” dan manajemen ABS (asal bapak senang).
Relasi kuasa seperti ini tidak saja merupakan “pembusukan” tapi juga berimbas pada iklim kerja yang kaku, nir kreativitas, nir prakarsa, nir inisiatif, dan pada stadium lanjut akan menjerumuskan sang “kuasa” ke jurang kebinasaan.
Tapi yakinlah “Seberapa kuat anda mempertahankan kekuasaan, ada satu hal yang tidak akan anda mampu lawan, yaitu WAKTU”. Selamat menikmati sajian nakal ini, jangan lupa bahagia dan saling mengasihi
Oleh : Elfahmi Lubis. (Direktur LBH-AP Muhammadiyah dan Akademisi UMB)