Oleh Farhat Abbas
Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Jakarta – Suaraindonesia1, 17 Januari 2022. Masih terngiang di telinga kita, atau masih terlalu segar untuk diingat. Itulah isu periode jabatan diperpanjang: bisa tiga periode. Sebuah isu yang jelas-jelas menabrak konstitusi kita, Pasal 7 UUD NRI 1945.
Sayang, “jualan” isu ini mendapat reaksi destruktif dari berbagai kalangan, terutama partai mayoritas di parlemen. Bisa dipahami. Ada kalkulasi politik praktis di balik resistensi isu itu.
Ada nuansa rivalitas yang sarat dengan kepentingan personal. Namun, yang jauh lebih mendasar dan krusial adalah, isu penambahan jabatan tiga periode tak “laku”. Lenyap bagai uap mengudara.
Mencermati reaksi kontra isu tiga periode jabatan presiden dan wakil presiden, Jokowi pun menujukkan sikap politik yang seolah senada dengan kalangan penolak tiga kali periode jabatan itu.
Baca: RUU TPKS Sah Jadi Inisiatif DPR, Puan Minta Presiden Segera Kirim Surpres
Tapi, sejatinya publik bisa memahami gestur body Presiden kemana sesungguhnya. Kini, gestur itu menampak. Belakangan ini digulirkan isu perpanjangan masa jabatan tiga tahun yang masih dalam satu periode. Berarti, akhir kekuasaannya 2027.
Bicara tentang periode, tak melanggar konstitusi (frasa kedua dari Pasal 7). Tapi, rentang masa lama jabatan tetap tak sesuai konstitusi (frasa pertama Pasal 7). Bisa debatable. Tapi, dalam satu pasal tersebut tidak bisa ditafsir separo-separo dan digunakan dalih sebagiannya. Masing-masing frasa (kedua dan pertama) bermakna jelas.
Jadi, tak perlu diakali. Justru – dalam perspektif lengguistik – frasa pertama – (batasan masa jabatan lima tahun) lebih substantif. Sementara, frasa kedua sejatinya bermakna memahami kecenderungan nafsu kekuasaan. Ada toleransi, tapi dibatasi sekali periode lagi. Tidak lebih. Dan pembatasan dua periode sangat historis-empiris dan sesuai amanat tuntutan reformasi. Refleksi dari politik traumatik kekuasaan yang berkepanjangan.
Perlu kita garis-bawahi, isu perpanjangan masa jabatan yang masih dalam satu periode menjadi magnetik. Selain Presiden-Wakil Presiden, banyak pihak yang bisa menikmati buah manis isu itu.
Kalangan legislator (DPR RI, DPRD Provinsi. DPRD Kabupaten/Kota), DPD RI dan kepala daerah ikut terimbas secara positif jika isu itu teralisasi. Maka, publik bisa memahami konstalasi politik di parlemen ataupun di pemerintahan jika isu perpajangan masa jabatan tiga tahun semasa masih dalam satu periode ini akan disambut positif oleh para “penikmat”.
Bagai dapatkan durian runtuh. Ada “bonus” tiga tahun (60%). Tanpa “pertempuran” baru dalam kontestasi yang berdarah-darah dan harus keluarkan biaya tidak kecil – di depan mata – terkabulnya isu penambahan masa jabatan tiga tahun itu sudah berpotensi diperolehnya penambahan pendapatan, dari unsur gaji, sejumlah fasilitas negara dan lain-lainnya yang melakat dari kedudukannya. Siapa yang tak tergiur?
Karena itu, jika kita cermati gestur para pejabat publik dan negara relatif tidak reaktif-negatif atas isu perpanjangan masa jabatan tiga tahun itu. Sejauh ini institusi politik yang menegaskan sikap penolakannya baru dari anasir DPD RI.
Pertimbangannya bukan ego personal, tapi dampak dari isu itu yang jelas-jelas merusak sistem ketatanegaraan. Yang pertama, harus dilakukan amandemen Pasal 7 UUD NRI 1945 itu.
Pertanyaannya, apakah amandemen ini temporal (situasional) karena sekedar memenuhi kehendak penguasa, atau permanen? Jika temporal targetnya, apa konstitusi hanyalah “mainan” dan milik segelitir orang (oligarkis)? Jika permanen – sebagai hal kedua – harus mengubah UU Pemilu secepat mungkin.
Hal ini berarti, menganulir atau menghapus hasil perencanaan kerja (skedul pemilu) yang telah ditetapkan dan telah diumumkan. Pendek kata, mengacaukan sistem ketatanegaraan.
Tapi, yang jauh lebih krusial adalah dampak derivatifnya bagi kepentingan bangsa dan negara ke depan. Dan – sangat boleh jadi – keluarga besar di Senayan khususnya – tahu persis arah dari isu perpanjangan masa jabatan tiga tahun. Mereka sadar bahwa dirinya sedang dijadikan komoditas politik agar – di satu sisi – menjadi kekuatan penyangga atau amunisi tambahan bagi kepentingan penguasa.
Di sisi lain, agar sasaran tembak (kritik publik) bukan hanya pada diri sang Presiden saja. Karena itu, keluarga besar di Senayan tampak wait and see, senyum sembari berkipas-kipas.
Yang perlu kita kritisi, apakah isu penambahan masa jabatan tiga tahun itu sebagai refleksi pertanggungjawabannya untuk membuktikan seluruh janji politiknya? Jika itu arahnya – secara tak langsung – Jokowi mengkonfirmasi kegagalan dirinya dalam memimpin negeri ini.
Publik pun menyaksikan dan merasakan sejumlah kegagalan itu, di sektor ekonomi, penegakan hukum, sosial, apalagi politik yang kini – melalui para buzzerRp – kian diagresifkan gerakan sistimatis terencana pembenturan antar anak bangsa.
Politik devide et empera ala kolonial Belanda dan penebaran fitnah ala Sun Tsu sudah menjadi tren agitatif yang makin gencar dimainkan.
Dengan model tata-kelola pemrintahan seperti itu, maka perpanjangan masa jabatan tiga tahun tak ada urgensinya, bahkan tak akan terbangun korelasi positifnya untuk mewujudkan ke-66 janji politiknya. Yang terjadi, justru Indonesia kian hancur.
“Agresi” asing non-military yang kini terwajahkan tenaga kerja asing (TKA) – dengan dalih investasi – akan semakin merajalela dan merasuk ke berbagai pelosok Nusantara. Bagai telah mempersiapkan “benteng stelsel” yang siap mengepung kota saat muncul komando penyerbuan.
Spekulatif memang. Tapi analisis fisik para TKA dari China yang berdatangan lebih memperlihatkan perawakan militer. Karenanya, tidaklah berlebihan jika publik cenderung beropini “sudah ada persiapan dini” untuk agresi fisik ke Tanah Air ini. Tinggal menunggu waktu yang tepat.
Menganalisis panorama pemandangan sosial-politik itu, kita jadi memahami pemikiran di balik isu perpanjangan masa jabatan tiga tahun itu. Minimal ada tiga spekulasi yang muncul.
Pertama, mengamankan megaproyeknya dari berbagai sektor yang masih dan bahkan yang akan dumulai, terkait infratruktur mass rapid transport (MRT) Jakarta – Bandung, pelabuhan dan bandara. Juga, megaproyeknya di sektor sumberdaya alam (SDA) dan mineral, bahkan penguasaan sektor kehutanan-perkebunan dan kelautan.
Kedua, menjamin migrasi TKA China yang sejatinya paramiliter dalam jumlah jutaan. Jika benar apa yang disampaikan salah satu buzzer Rp Istana, dia menyampaikan bocoran jumlah kisaran angka 140-an juta TKA sampai pada 2024 nanti. Berarti, ada potensi angka kisaran 250-an juta TKA pada 2027.
Jika bocoran informasi ini valid, maka perpanjangan masa jabatan tiga tahun sarat dengan misi kolonialisasi secara fisik. Atau, neo-kolonialisasi secara politik: mengubah topografi politik melalui pemilu dimana jutaan migran China berubah status sebagai penduduk Indonesia yang sah dan memiliki hak memilih dan dipilih. Dan ketiga, mensukseskan agenda pemindahan ibukota baru dari Jakarta ke Penajam Paser Utara – Kalimantan Timur.
Menatap Persoalan Ibukota Baru: Langkah Politik-ideologis
Ketiga spekulasi itu haruslah menjadi kesemasan nasional. Karena, di depan mata, sudah dapat dibayangkan potret buram kepentingan bangsa dan negeri ini. Yang perlu kita waspadai – dalam jangka pendek – adalah agenda pemindahan ibukota negara. Agenda ini sudah dipersiapkan perangkat perundang-undangan.
Pada 18 Januari ini, DPR RI akan memplenokan RUU Ibukota negara (IKN). Meski akan muncul dinamika yang kuat dalam siding paripurna itu, tapi – sejauh ini – hanya Fraksi PKS yang menolak RUU IKN ini. Berarti, ada potensi pengesahan RUU tersebut menjadi UU. Dan itulah yang akan menjadi landasan kerja secara operasional derap pembangunan ibukota baru.
Kira-kira perlu berapa lama pembangunan infrastruktur gedung-gedung pemerintahan itu? Lalu, berapa lama juga membangun sarana dan prasarana penunjangnya, termasuk migrasi para pejabat atau pegawai dan keluarga mereka? Perlu waktu bisa lebih dari lima tahun.
Namun, realisasi fisik sarana dan prasarana perkantoran keperesidenan, kementerian dan lembaga-lembaga tinggi negara – dengan konsep kerja massif dan simultan – cukup dibangun dalam masa tiga sampai empat tahun. Dengan demikian, angka 2027 dinilai cukup untuk mengamankan megaproyek pemindahan ibukota baru.
Prediksi waktu pembangunan itu berangkat dari kelancaran anggaran. Hal ini tentu menjadi masalah besar dan mustahil jika andalan anggarannya dari APBN. Karena itu, jauh sebelum diluncurkan gagasan pemindahan ibukota baru sudah tersampaikan bahwa sumber danaya bukan APBN.
Lalu? Sangat tidak mungkin mengandalkan pinjaman dari lembaga keuangan dunia seperti International Monetary Fundy (IMF), World Bank, Asia Development Bank atau konsorsium dari sejumlah negara debitur. Jika Indonesia ajukan soft loan untuk kepentingan pemindahan ibukota baru pasti ditertawakan. Ditolak. Karena itu – sekali lagi – andalan biaya pembangunan infrastruktur itu dari China.
Pertanyaannya, apakah sebagai pinjaman atau lainnya? Di depan publik domestik ataupun internasional, pasti akad yang diperlihatan secara formal adalah soft loan. Haruskah dipercaya? Tidak. Berangkat dari satu agenda terselubung, maka China akan menyuguhkan skim build of transfer (BoT).
Dengan dana – menurut taksiran Bappenas – kisaran Rp 600 trilyun, maka China lebih memilih opsi BoT itu dengan masa rentang 30 tahun atau lebih. Dan rezim ini – karena terdapat “kesepahaman” dalam memandang negeri ini – bukan hanya menerima opsi BoT, tapi justru mendorongnya. Ada titik temu cara pandang dan keterpanggilan: kembali ke tanah “leluhur”. Inilah kekuatan emosional-kultural etnis China.
Kita perlu merenung, jika opsi BoT itu yang terjadi, maka usai habis akad BoT itu, seluruh bangunan fisik akan diserahkan kepada pemilik bangunan. Maka, definitively, sejak peralihan status pemilikan bangunan, maka ibukota negara – secara fisik – dalam genggaman (hak milik) China.
Dalam hal inilah muncul impkikasi serius bagi sistem pemerintahan Indonesia. Pemilik baru perkantoran bisa menolak tegas alamatnya digunakan untuk aktivitas pemerintahan Pusat. Dampaknya bukan hanya menjadi persoalan bagi urusan domestik, tapi juga hubungan internasional. Maka, tak ada opsi lain kecuali Pemerintah Indonesia harus tunduk pada kemauan pemilik baru perkantoran ibukota negara.
Yang menjadi masalah bukanlah sekedar urusan korespondensi dan hal-hal administratif Pusat – Daerah, atau Pusat dengan negara-negara lain, tapi etape selanjutnya. Yaitu, China – atas nama hak kepemilikan fisik kantor – kemudian melangkah ke aneksasi wilayah ibukota baru itu.
Ketika seluruh perangkat pererintahan Pusat terokupasi, maka Nusantara sudah dalam genggaman sang kolonial. Memang, jatuhnya sebuah ibukota negara tidak otomatis jatuh pula seluruh wilayahnya. Tapi, minimal, Pusat kehilangan kendali pemerintahan yang efektif. Hal ini jelas berdampak tragis bagi seluruh komponen bangsa dan daerah-daerah.
Karena itu, Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) menggaris-bawahi bahwa pemindahan ibukota baru bukanlah sekedar persoalan topografi dan lingkungan. Tapi, ada ancaman serius bagi kepentingan kedaulatan negeri dan bangsa ini ke depan.
Karena itu pula PANDAI mengajak kesadaran seluruh elemen bangsa untuk menolak keras gagasan yang tendensius itu. Harus kita tegaskan, pemindahan ibukota ke Panajam paser Utara bukanlah solusi hadapi banjir atau situasi crowded ibukota, tapi justru akan mengubah peta wilayah dan status negeri ke depan: tidak lagi Indonesia dengan Merah Putih yang gagah berkibar. (Red)